berikut adalah beberapa contoh kasus
dalam organisasi, simak selengkapnya :
Pembabatan
hutan adat di Kalimantan Tengah terus berlangsung seperti terjadi di kawasan
hutan Tamanggung Dahiang di Desa Tumbang Dahui, Kecamatan Katingan Hulu,
Kabupaten Katingan pada bulan awal Nopember 2002. Kejadian ini sebenarnya telah
diketahui oleh seorang tokoh desa bernama Salin R. Ahad yang kemudian
permasalahan ini dilaporkan ke Polda, Kejaksaan Tinggi, dan DPRD Propinsi
Kalteng yang dianggap menginjak-injak harga diri masyarakat adat dan
hukum-hukum adat setempat. Kemudian tokoh desa itu juga mengungkapkan
keterlibatan oknum-oknum BPD (Badan Perwakilan Desa) yang ikut membekingi dan
melakukan pembabatan hutan adat tersebut.
Kejadian
yang hampir sama terjadi pada pertengahan bulan Juni 2002. 189 warga desa di
wilayah Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara menuntut HPH PT. Indexim
dan PT. Sindo Lumber telah melakukan pembabatan hutan di kawasan Gunung Lumut.
Kawasan hutan lindung Gunung Lumut di desa Muara Mea itu oleh masyarakat
setempat dijadikan kawasan ritual sekaligus sebagai hutan adat bagi masyarakat
dayak setempat yang mayoritas pemeluk Kaharingan. Sebelum kejadian ini telah
diadakan pertemuan antara masyarakat adat dan HPH-HPH tersebut.
Namun
setelah sekian lama ternyata isi kesepakatan tersebut telah diubah oleh HPH-HPH
itu dan ini terbukti bahwa perwakilan-perwakilan masyarakat adat dengan tegas
menolak dan tidak mengakui isi dari kesepakatan itu.
Selain itu,
konflik yang terjadi antara mayarakat desa Tumbang Dahui denga perusahaan
PT.Indexin dan PT.Sindo Lumber disebabkan dengan hal-hal seperti berikut:
- Masalah tata batas yang tidak jelas dari 2
belah pihak
- Pelanggaran adat yang disebabkan perusahaan
tersebut
- Ketidakadilan aparat hukum dalam menyelsaikan
persoalan
- Hancurnya penyokong antara masyarakat adat dan
masyarakat hutan akibat rusak dan sempitnya hutan
- Tidak ada kontribusi positif pengelola hutan
dengan masyarakat adat dan masyarakat di sekitar hutan.
- Perusahaan tidak melibatkan masyarakat adat
dan masyarakat disekitar hutan dalam pengusahaan hutan.
Seharusnya,aparat keamanan yang bertugas melindungi masyarakat bisa menindak
lanjuti kedua perusahaan tersebut,karena perusahaan PT.Indexin dan PT.Sindo Lumber telah melanggar tentang
pengelolaan hutan.Kedua perusahaan tersebt
telah membabat habis hutan di kawasan gunung lumut tersebut, apalagi hutan
tersebut merupakan hutan lindung. Selain itu aparat kemanan juga dapat
menangkap oknum BPD tersebut, karena oknum tersebut terlibat langsung dalam
kerjasama dengan kedua perusahaan tersebut. Oknum ini harusnya menghalangi
tindakan kedua perusahaan tersebut dalam pembabatan hutan.
Agar
menghindari konflik dengan masyarakat sekitar,perusahaan juga seharusnya
bersikap baik dalam lingkumgan sekitar.Seperti tidak melakukan pembabatan hutan
lindung. Lalu jika melakukan penebangan pohon di hutan, harus melakukan
reboisasi(penanaman ulang pohon). Hormat kepada masyarakat sekitar dan adat dan
berlaku, karena masyarakat Kalimantan terkenal dengan adatnya yang harus di
jaga secara turun menurun. Jika hal itu dilakukan oleh perusahaan, mungkin
tidak ada yang namanya konflik eksetrnal.
dari beberapa contoh kasus diatas,
kita dapat menganalisa bahkan mengambil sebuah keputusan yang bisa digunakan
untuk pedoman dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut. untuk lebih jelasnya
lihat penjelasan tentang Konflik Organisasi berikut :
Salah satu
yang sering muncul dalam upaya melakukan inovasi organisasi adalah terjadinya
konflik di dalam organisasi. Sebagai mana lazim diketahui bahwa suatu
organisasi secara ke seluruhan terdiri atas individu dan/atau tim kerja.
Sebelum membahas persoalan konflik ini lebih jauh, ada baiknya kita menyinggung
kembali sepintas tentang inovasi organisasi dari sisi yang lain. Dalam
melakukan upaya perubahan organisasi dapat diidentifikasi tiga tahap proses
perubahan, yakni proses peman asan atau pencairan (unfreezing), proses
pengubahan (changing), dan proses pembekuan kembali (refreezing). Tujuan proses
pemanasan adalah memotivasi dan mengkondisikan individu dan/atau tim kerja agar
siap melakukan perubahan. Tahap ini merupakan proses pencairan, dengan
melakukan pengaturan kembali faktor-faktor yang mempengaruhi individu dan/atau
tim kerja sehingga mereka dapat melihat adanya kebutuhan untuk berubah. Untuk
melakukan proses pencairan ini dapat ditempuh langkah sebagai berikut, pertama,
memindahkan pekerja yang hendak diubah dari kebiasaan rutinitasnya. Yang kedua,
yaitu mengubah sumber informasi dan hubungan sosial antar individu dan/ atau
tim kerja, dan ketiga adalah mengecilkan arti pengalaman masa lalu dengan
mengubah pandangan para pekerja bahwa sikap dan perilaku lama mereka sebagai
hal yang tidak bermanfaat dan karenanya perlu untuk diubah. keempat, secara
konsisten mengaitkan ganjaran (insentif) dengan keinginan untuk berubah dan
menerapkan hukuman bagi penolakan untuk berubah. Ringkasnya, tahap pemanasan
adalah upaya pencairan kebiasaan dan tradisi lama para pekerja untuk dapat
menerima alternatif baru. Dalam kaitan dengan tulisan terdahulu, tentang teknik
analisis untuk melakukan strategi perubahan, proses pemanasan dapat dilakukan
apabila faktor-faktor pendukung diperkuat dan faktor penghambat diperkecil.
Selanjutnya
dalam proses pengubahan dapat dilakukan dengan menempuh salah satu dari dua
mekanisme berikut, yaitu proses identifikasi dan internalisasi Identifikasi
terjadi apabi la disediakan situasi atau model didalam lingkungan kerja, dimana
para pekerja dapat mempelajari pola perilaku baru melalui model -model yang
ditampilkan dengan mengidentifikasi dan bahkan menyukai model-model tersebut.
Adapun melalui proses internalisasi, para pekerja ditempatkan dalam situasi
dimana mereka dituntut untuk menunjukkan perilaku baru jika mereka ingin
berhasil dalam situasi baru tersebut. Mereka mempelajari pola perilaku baru
bukan hanya sekedar untuk bertahan, akan tetapi juga terdorong oleh kebutuhan
yang kuat mengikuti perilaku baru itu. Proses identifikasi dan internalisasi
bukanlah proses yang berdiri sendiri, dimana perubahan yang efektif dapat
terjadi sebagai hasil dari pengkombinasian kedua proses tersebut didalam
melakukan strategi perubahan. Sedangkan proses pemaksaan melalui mekanisme
ganjaran dan hukuman lebih tepat digunakan dalam proses pemanasan bukan sebagai
alat pengubahan.
Apabila
perilaku baru telah diinternalisasi melalui proses yang dipelajari maka secara
otomatis hal tersebut mengarah kepada proses pembekuan kembali, yang secara
alamiah telah disesuaikan dengan kepribadian seseorang. Maka proses pembekuan
kembali adalah suatu pembentukan perilaku baru sebagai perilaku terpola kedalam
kepribadian seseorang yang secara emosional berlangsung terus secara
signifikan. Namun demikian perilaku baru melalui proses identifikasi tidak
dapat bertahan lama apabila tidak diperkuat oleh dukungan dan penguatan sosial
oleh lingkungan dimana ia bekerja untuk mengungkapkan sikap baru tersebut. Hal
ini menunjukkan bahwa, betapa pentingnya bagi para pekerja yang terlibat dalam
proses perubahan untuk berada dalam lingkungan yang secara terus -menerus
memperkuat perubahan yang diinginkan. Kebanyakan program pelatihan tidak
berdampak lama apabila para pekerja kembali ke “habitat” yang tidak memperkuat
pola baru, apalagi jika habitat itu tidak bersahabat dengan pola baru yang akan
diterapkan.
Yang perlu
ditekankan dalam proses pembekuan kembali, adalah bagaimana agar perilaku baru
yang telah termodifikasi tidak sirna. Untuk itu perlu dilakukan dua pendekatan,
pertama , melalui penguatan berkelanjutan agar para pekerja dapat mempelajari
hal baru dan memodifikasi perilakunya dengan cepat. Kedua, melalui penguatan
berselang-seling, dimana para pekerja di kondisikan untuk bertahan lebih lama
dalam pola perilaku barunya tanpa harus sering diperkuat, yaitu dengan peroses
belajar dengan penerapan jadwal berkala penguatan berkelanjutan dan konsisten .
Jika para pekerja telah mempelajari pola baru, maka peralihan ke penguatan
berselang-seling dapat menjamin perubahan dalam jangka panjang .Strategi
perubahan direktif yang bersifat paksaan tidak akan efektif untuk
diterapkan,jika tidak dilakukan terlebih dahulu proses pemanasan yang
signifikan, yaitu dengan memperlemah faktor-faktor penghambat untuk
ditransformasikan menjadi faktor pendukung.Sementara strategi perubahan
partisipatif akan lebih tepat digunakan dengan memperlunak faktor-faktor
penghambat melalui penyampaian informasi baru yang tidak bermuatan
ancaman–melalui komunikasi dua arah-yang mengarah pada upaya mengubah sikap dan
pada akhirnya mengubah perilaku para pekerja.
Dengan
demikian, melalui pemanasan atau pencairan megandung tujuan agar gagasan atau
praktek lama dalam suatu organisasi perlu disisihkan supaya gagasan atau
praktek baru dapat segera dipelajari. Namun demikian perlu disadari, bahwa
meniadakan praktek dan kebiasaan lama sama sulitnya dengan mempelajari dan
mempraktekan gagasan baru. Sementara pengubahan adalah langkah mempelajari
gagasan dan praktek baru agar para pekerja dapat berfikir dan berprestasi
dengan cara yang baru. Pembekuan kembali adalah memadukan hal -hal yang telah
dipelajari kedalam praktek yang sesungguhnya. Dengan kata lain , hal yang telah
dipelajari seyogyanya tidak hanya sekedar diketahui, namun akan lebih bermakna
jika dilakukan oleh para pekerja, sehingga suatu praktek yang berhasil merupakan
tujuan akhir dari langkah pembekuan kembali.
Ketika
individu dan/atau tim kerja mulai lebih kompak dan padu (cohesive), sementara
perbedaan internal dapat dikesampingkan maka loyalitas para pekerja kepada tim
kerja dan pemimpin semakin menguat. Dalam konteks ini suasana tim kerja lebih
berorientasi pada tugas dan keberhasilan kelompok menjadi prioritas yang paling
penting. Pada saat tim kerja lebih toleran terhadap pemimpin, maka pemimpin
dapat mulai mengubah gaya kepemimpinannya kearah yang lebih otokratis, sehingga
tim kerja lebih terorganisasi dan lebih terstruktur, dimana setiap anggota tim
kerja dituntut untuk lebih loyal dan bersatu guna menciptakan benteng yang
tangguh. Namun ekses dari munculnya ego kelompok, dapat menimbulkan persaingan
antar tim kerja, dimana tim kerja yang satu mulai memandang tim kerja yang lain
sebagai “musuh”, yaitu hanya mengakui kekuatan tim kerjanya sendiri dan
mengecilkan kekuatan tim kerja yang lain. Adanya pertikaian antara tim kerja
yang meningkat, sementara frekuensi komunikasi menurun dapat menyebabkan
tumbuhnya perasaan negatif dan persepsi yang keliru. Apabila antar tim kerja
dipaksa untuk berinteraksi, biasanya masing -masing enggan menyimak pendapat
pihak tim kerja lain dan biasanyahanya bersedia menyimak hal yang mendukung
argumentasi masing-masing. Meskipun persaingan dan reaksi yang timbul
mungkinakan bermanfaat bagi internal tim kerja untuk motivasi berprestasi dan
efektifitas bekerja , namun konsekuensi negatif dapat muncul pada interaksi dan
kerja sama antar tim kerja. Situasi akan lebih sulit lagi , apabila antar tim
kerja terjadi konfrontasi menang-kalah yang meskipun akhirnya akan muncul
pemenang, begitu pula pihak yang kalah biasanya tidak merasa dikalahkan dan
tegangan antar kelompok dan/atau tim kerja akan semakin tinggi dari sebelum
dimulainya persaingan. Lebih jauh lagi pihak pemenang seringkali lupa daratan
dan merasa puas , sehingga acapkali mengabaikan tujuan yang hendak dicapai oleh
organisasi. Sementara pihak yang kalah cenderung mengembangkan konflik internal
dan pada saat yang sama. berusaha mencari sebab-sebab kekalahan dengan
mengkambing hitamkan seseorang. Apabila konsekuensi negatif dari terjadinya
konflik antar tim kerja melebihi manfaatnya, maka tugas para pemimpin
seyogyanya berupaya mencari jalan mengurangi tensi persaingan antar kelompok.
Mengingat lebih sukar mengurangi konflik antar tim kerja apabila itu sudah
terjadi, maka perlu diupayakan langkah preventif untuk mencegahnya. Pertama,
pemimpin perlu menekankan pada kontribusi prestasi seluruh timkerja terhadap
pencapaian tujuan organisasi, tidak pada pencapaian tujuan parsial salah satu
unit tim kerja saja. Kedua, dilakukan upaya peningkatan frekuensi komunikasi
dan interaksi antar tim kerja dan mengadakan sistem insentif bagi tim kerja
yang saling membantu satu dengan lainnya. Ketiga , jika dimungkinkan setiap
individu dari tim kerja secara periodik dapat dirotasi untuk mengenyam
pengalaman kerja didalam tim kerja yang lain guna memperluas dasar empati dan
saling pengertian atas masalah-masalah organisasi secara keseluruhan. Pada sisi
yang lain,persaingan yang dicirikan dalam situasi konfrontasi menang- kalah,
dimana konflik kurang terbuka, kurangnya interaksi total antar tim kerja ,dan
tidak adanya kesediaan memberikan sumberdaya dan informasi kepada tim
kerjalain, akan memperlemah potensi efektifitas organisasi secara
keseluruhan.Secara umum, strategi dasar untuk mengurangi konflik antar tim
kerja adalah dengan menetapkan tujuan yang mengacu pada visi dan misi yang
disepakati bersama oleh semua tim kerja dalam organisasi, menciptakan strategi
perundingan yang memicu interaksi antar tim kerja dan bila mana perlu
menetapkan musuh bersama.
Ada tiga
situasi dan posisi konflik dalam kaitannya dengan konflik antar tim kerja,
yakni, pertama, suatu konflik tidak dapat dihindarkan dan “ rujuk ” tidak
dimungkinkan, kedua , konflik dapat dihindarkan dan rujuk tidak dimungkinkan,
dan ketiga , meskipun ada konflik namun rujuk dapat diupayakan. Untuk konteks
yang pertama, apabila tidak terjadi pertaruhan yang mengancam terhadap
keberadaan status para pekerja, maka reaksi mereka cenderung pasif dan
membiarkan nasib yang menyelesaikan konflik tersebut. Apabila tingkat
taruhannya sedang-sedang saja, maka mereka akan memperkenan kan campur tangan pihak
ketiga untuk memutuskan penyelesaian konflik tersebut. Namun apabila tingkat
pertaruhannya sangat tinggi, para pekerja akan melibatkan diri secara aktif
dalam konfrontasi menang-kalah dan bahkan berjuang untuk memperebutkan
kekuasaan. Untuk konteks yang kedua, para pekerja akan bersikap pasif dan masa
bodoh jika keberadaan konflik itu tingkat pertaruhannya rendah, apabila tingkat
pertaruhannya sedang, mereka akan menghindar dari situasi konflik seperti itu.
Namun jika tingkat pertaruhannya tinggi, mereka akan terlibat secara aktif dan
jika kalah akhir nya akan mengundurkan diri. Konteks ketiga, jika konflik tetap
ada dan rujuk masih. dimungkinkan maka para pekerja akan bersifat pasif dan
berupaya memperlunak siituasi apabila tingkat per taruhannya rendah. Begi tu
pula para pekerja akan bernegosiasi dan menempuh bentuk perundingan apabila
tingkat per taruhannya sedang saja . Namun apabila tingkat per taruhannya
tinggi , mereka akan melakukan upaya pemecahan konflik secara aktif.
Dalam
mengelola konflik, dengan menget ahui potensi konflik dan tingkat per taruhan
konflik itu bagi para pekerja, maka kita dapat memprediksi kemungkinan perilaku
yang akan muncul dan sebaliknya. Kita juga dapat memprediksi persepsi para
pekerja tentang konflik dalam situasi konflik tersebut. Apabila kita melihat
tim kerja terlibat dalam pertarungan kekuasaan secara aktif , maka kita dapat
memprediksi bahwa tingkat pertaruhan konflik tersebut sangat tinggi dan kecil
kemungkinan rujuk dapat dicapai dalam waktu dekat . Pada saat yang sama ketika
konflik tersebut tidak dapat dihindarkan, sementara rujuk pun sulit dicapai
dengan taruhan yang sangat tinggi, maka dapat diprediksi bahwa konflik akan
mengarah pada situasi perebutan kekuasaan yang bersifat “hidup atau mati” atau
terciptanya situasi kheos. Jika konflik sudah mencapai tingkat kritis seperti
ini, intervensi pihakketiga perlu segera dilakukan untuk memperendah tingkat
pertaruhan sehingga pihak yang bertikai bersedia untuk lebih jauh menerima
intervensi pihak ketiga. Dengan diterimanya campur tangan pihak ketiga , maka
upaya dapat diarahkan untuk mengubah persepsi dan asumsi setiap pelaku yang
terlibat dalam konflik untuk ikut menanggulangi masalah yang dihadapi secara
aktif, sehingga rujuk dapat dimungkinkan.
Pada hakikatnya,
adanya konflik dalam suatu organisasi tidak harus selalu dipandang sebagai
faktor yang merugikan, sebaliknya maslahat dapat dipetik khususnya guna men
stimulasi para pekerja untuk aktif mencari pendekatan baru dalam pekerjaan.
Maslahat lain yang dapat dipetik adalah masalah yang tadinya tersembunyi secara
laten dapat diangkat kepermukaan untuk segera dapat ditanggulangi, sejalan
dengan itu dapatberfungsi mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap
pihak-pihak yang terlibat berkenaan dengan konflik tersebut. Sementara
kerugiannya sering kita rasakan bersama, dimana kekompakan kerjasama antar tim
kerja yang sudah terjalin menjadi terganggu bahkan rusak sama sekali, akibat
tidak adanya saling kepercayaan, saling mengalahkan, serta kelelahan yang
berkepanjangan yang dapat menu runkan motivasi kerja. Situasi konflik dapat
menimbulkan empat akibat, pertama, adalah situasi ‘kalah-kalah’, dimana para
pekerja dalam situasi ini ingin agar konflik dapat merusak kedua-belah pihak
yang berakibat destruktif. Akibat yang kedua, adalah situasi ‘menang – kalah’,
dimana para pekerja berpikiran akan memperoleh keuntungan jika mereka dapat
mengalahkan rivalnya dan beranggapan kemenangan hanya akan dicapai dengan
mengalahkan pihak yang lainnya. Terakhir atau ketiga, adalah situasi
‘menang-menang’,dimana dalam situasi ini dapat dicarikan pemecahan kreatif yang
menguntungkan kedua belah pihak, dengan tujuan mencari titik temuterpadunya
kebutuhan kedua belah pihak, melalui dialog, kolaborasi, solusi dan kompromi
yang konstruktif.
Dengan demikian,
seorang pemimpin dalam melaksanakan tahapan perubahan melalui proses pemanasan,
pengubahan,dan pembekuan kembali,perlu dilakukan secara hati -hati dan
sistematis, sehingga munculnya konflik yang tidak perlu dapat terant isipasi
dan dihindari. Maka tujuan umum seorang pemimpin dalam memandang aspek manusia
dalam organisasi, yakni memperbaiki dan menjaga keseimbangan antar tim kerja di
dalam organiasi, dengan membantu penyesuaian diri pribadi-pribadi yang berada
dalam tim kerja pada saat mereka merasa terganggu oleh adanya suatu perubahan
yang memicu timbulnya konflik .Last but not least, dengan memahami paparan
topik ini diharapkan kita lebih memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai
konflik, baik yang masih bersifat laten maupun konflik terbuka , serta
dilengkapi kesadaran bahwa fenomena konflik memiliki nuansa beragam dan
spesifik, yang perlu didekati dengan cara yang spesifik pula, dan hindarilah
simplifikasi dan generalisasi.
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar