Paul
Vinogradoff[ menyebutkan manusia diidentifikasikan sebagai mahkluk biologis dan
mahkluk sosial sehingga manusia akan selalu senantiasa hidup bersama-sama
dengan manusia dan mahluk hidup lainnya. Aristoteles, berkata manusia itu “zoon
politicon”.Oleh karena itu Cicero menyebutkan bahwa dimana ada masyarakat di
situ ada hukum (ubi societas ibi ius) sehingga hukum tersebut lahir, tumbuh dan
berkembang dalam suatu masyarakat. Tegasnya, tidak ada suatu masyarakat dan
negara yang beradab tidak memerlukan hukum.
Dikaji dari perspektif hukum tata negara positif maka terhadap lahirnya suatu negara, dikenal beberapa teori seperti teori kenyataan, teori ketuhanan, teori penaklukan dan teori perjanjian. Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro menyatakan “negara adalah suatu organisasi diantara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah (territoir) tertentu dengan mengakui adanya suatu Pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa manusia tadi”. Sri Soemantri Martosoewignjo secara lebih sederhana lagi mengemukakan bahwa “mendirikan dan membentuk negara pada hakikatnya mendirikan dan membentuk organisasi kekuasaan”. Negara karena sifatnya yang abstrak dan luas dapat dipahami dari berbagai aspek. Disamping sebagai organisasi kemsyarakatan, negara juga dapat dipandang sebagai “organisasi kekuasaan”. Bilamana dikaji dari unsur-unsurnya, menurut H. Abu Daud Busroh dikemukakan ada 3 (tiga) hal, yakni terdiri atas daerah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat. Penetapan ini sejalan dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro[9] yang membedakan unsur-unsur negara terdiri atas masyarakat, wilayah/territoir dan unsur pemerintahan. Perbedaan terhadap unsur-unsur negara baru dapat dijumpai bila pendapat di bidang Hukum Tata Negara itu dibandingkan dengan pendapat di bidang Hukum Internasional.
Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yang telah dipandang sebagai prinsip-prinsip hukum umum tentang keberadaan suatu negara menurut Hukum Internasional, mengemukakan unsur-unsur negara terdiri atas 4 (empat) hal, yakni :
1). Adanya penduduk yang tetap (a permanent population);
2). Memiliki wilayah yang jelas (a defined territory);
3). Adanya Pemerintah (a government);
4). Adanya kemampuan untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara lainnya (a capacity to enter into relations with athor states).
Keempat unsur ini menjadi elemen dasar dari adanya suatu negara dalam pandangan Hukum Internasional. Disamping keempat unsur di atas, secara doktrinal menurut pendapat Huala Adolfdan Wayan Parthiana, disamping keempat unsur tersebut ditambahkan lagi adanya unsur negara dapat mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan pejabat-pejabatnya terhadap pihak negara lain, dan negara harus merdeka
Negara untuk dapat mewujudkan ketertiban memerlukan adanya suatu sistem pengendalian masyarakat, salah satunya berupa hukum. Oleh karena itu maka persoalan hukum dan negara telah mendapat perhatian dan menjadi obyek kegiatan intelektual dari para pemikir dunia sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu sampai sekarang. Plato (429-347 s.M) dan Cicerio (106-43 s.M) merupakan pemikir-pemikir besar tentang negara dan hukum pada zaman Purbakala, Thomas Aquinas (1225 – 1274) sebagai pemikir pada zaman Pertengahan serta Montesquieu (1689-1755), Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dan Hans Kelsen sebagai pemikir setelah pada zaman pertengahan.
Pada asasnya Hans Kelsen mendapat pengaruh ajaran neo-Kantianisme, khususnya mazhab Marbug sehingga Hans Kelsen mengembangkan filsafat hukumnya dengan bertolak pada tesis-tesis epistimilogi sebagai berikut :
1). Adanya keyakinan bahwa cara pendekatan menentukan pengetahuan dan struktur sistem ilmiah;
2). Ilmu harus berusaha dengan analisis konsep-konsep secara eksak untuk menjaring unsur-unsur essensial dan merumuskannya kedalam generalisasi-generalisasi secara formal;
3). Salah satu aspek dari setiap ilmu adalah masalah hubungan dengan kenyataan.
Dikaji dari perspektif hukum tata negara positif maka terhadap lahirnya suatu negara, dikenal beberapa teori seperti teori kenyataan, teori ketuhanan, teori penaklukan dan teori perjanjian. Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro menyatakan “negara adalah suatu organisasi diantara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah (territoir) tertentu dengan mengakui adanya suatu Pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa manusia tadi”. Sri Soemantri Martosoewignjo secara lebih sederhana lagi mengemukakan bahwa “mendirikan dan membentuk negara pada hakikatnya mendirikan dan membentuk organisasi kekuasaan”. Negara karena sifatnya yang abstrak dan luas dapat dipahami dari berbagai aspek. Disamping sebagai organisasi kemsyarakatan, negara juga dapat dipandang sebagai “organisasi kekuasaan”. Bilamana dikaji dari unsur-unsurnya, menurut H. Abu Daud Busroh dikemukakan ada 3 (tiga) hal, yakni terdiri atas daerah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat. Penetapan ini sejalan dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro[9] yang membedakan unsur-unsur negara terdiri atas masyarakat, wilayah/territoir dan unsur pemerintahan. Perbedaan terhadap unsur-unsur negara baru dapat dijumpai bila pendapat di bidang Hukum Tata Negara itu dibandingkan dengan pendapat di bidang Hukum Internasional.
Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yang telah dipandang sebagai prinsip-prinsip hukum umum tentang keberadaan suatu negara menurut Hukum Internasional, mengemukakan unsur-unsur negara terdiri atas 4 (empat) hal, yakni :
1). Adanya penduduk yang tetap (a permanent population);
2). Memiliki wilayah yang jelas (a defined territory);
3). Adanya Pemerintah (a government);
4). Adanya kemampuan untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara lainnya (a capacity to enter into relations with athor states).
Keempat unsur ini menjadi elemen dasar dari adanya suatu negara dalam pandangan Hukum Internasional. Disamping keempat unsur di atas, secara doktrinal menurut pendapat Huala Adolfdan Wayan Parthiana, disamping keempat unsur tersebut ditambahkan lagi adanya unsur negara dapat mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan pejabat-pejabatnya terhadap pihak negara lain, dan negara harus merdeka
Negara untuk dapat mewujudkan ketertiban memerlukan adanya suatu sistem pengendalian masyarakat, salah satunya berupa hukum. Oleh karena itu maka persoalan hukum dan negara telah mendapat perhatian dan menjadi obyek kegiatan intelektual dari para pemikir dunia sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu sampai sekarang. Plato (429-347 s.M) dan Cicerio (106-43 s.M) merupakan pemikir-pemikir besar tentang negara dan hukum pada zaman Purbakala, Thomas Aquinas (1225 – 1274) sebagai pemikir pada zaman Pertengahan serta Montesquieu (1689-1755), Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dan Hans Kelsen sebagai pemikir setelah pada zaman pertengahan.
Pada asasnya Hans Kelsen mendapat pengaruh ajaran neo-Kantianisme, khususnya mazhab Marbug sehingga Hans Kelsen mengembangkan filsafat hukumnya dengan bertolak pada tesis-tesis epistimilogi sebagai berikut :
1). Adanya keyakinan bahwa cara pendekatan menentukan pengetahuan dan struktur sistem ilmiah;
2). Ilmu harus berusaha dengan analisis konsep-konsep secara eksak untuk menjaring unsur-unsur essensial dan merumuskannya kedalam generalisasi-generalisasi secara formal;
3). Salah satu aspek dari setiap ilmu adalah masalah hubungan dengan kenyataan.
Tolok
ukur tesis konteks di atas maka B. Arief Sidharta mengkritisi konsepsi Hans
Kelsen tentang ilmu hukum dan teori hukum adalah:
a. Ilmu Hukum adalah suatu pemahaman normologis tentang makna hukum positif (normological apprehenson of the meaning of positive law).
b. Teori hukum (legal theory) adalah teori umum tentang hukum positif yang menggunakan metode pemahaman yuristik yang khas secara murni.
Melalui pemahaman normologis ilmu hukum hanya mempelajari norma-norma sehingga sebagai ilmu kognitif yang murni tentang hukum positif. Konteks dan problematika korelasi tentang latar belakang lahirnya hukum, baik buruknya isi hukum bukan merupakan dilema bagi Hans Kelsen. Selanjutnya melalui metode yuristik, maka hukum sebagai ketentuan normatif dipandang secara holistik dan dibebaskan dari percampuran dengan pendekatan-pendekatan di luar hukum seperti pendekatan psikologis, sosiologi, politikologis dan etis suatu penlolakan terhadap sinkretisme metodelogis. Disamping teori hukum murni yang mengemukakan bahwa “hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya”di atas, Hans Kelsen juga mengembangkan teori Stufenbau des Recht (Teori Pertingkatan Hukum). Menurut teori Pertingkatan Hukum sistem hukum itu pada hakikatnya bersifat hierarkis, dimana suatu ketentuan hukum tertentu akan bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi.
Oleh karena itu dengan titik tolak polarisasi pemikiran di atas berikut tulisan ini akan lebih intens, detail dan terperinci mengkaji lebih dalam tentang pemikiran Hans Kelsen tentang hukum dan negara serta implementasinya terhadap perlindungan hak asasi manusia dikaji dari perspektif teori hukum.
Polarisasi Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum Dan Negara Dalam General Theory Of Law And State Serta Implementasinya Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia Dikaji Dari Perspektif Teori Hukum
1. Pemikiran Hans Kelsen tentang Hukum dan Negara
Pada bagian ini tentang Hukum dan Negara maka dalam buku General Theory of Law and State khususnya terhadap konteks Hak Asasi Manusia maka dikemukakan polarisasi pemikiran Hans Kelsen tentang Hukum dan Negara adalah sebagai berikut:
Pemikiran bahwa pada hakikatnya negara sebagai personifikasi dari Tata Hukum Nasional, sehingga tertib hukum tidak ada bedanya dengan tertib negara.
Pandangan yang menempatkan Negara sebagai personifikasi dari Tata Hukum Nasional menunjukkan negara diidentikan dengan hukum. Hal ini merupakan pandangan yang ekstrim bilamana dikaitkan dengan teorinya tentang hukum, yakni teori hukum murni. Sebagaimana telah dibahas, menurut teori hukum murni bahwa “hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya”. Pandangan ini menunjukkan hukum itu bebas nilai (in free value) serta dilepaskan dari faktor-faktor realitas yang berpengaruh dalam pembentukannya. Berbagai ahli non hukum mengkritik pendapatnya. Hans Kelsen dipandang telah meremehkan peranan dan manfaat dari bidang di luar hukum terhadap pembangunan dan pengembangan hukum tersebut. Kami sependapat dengan kritikan yang diajukan kepada Hans Kelsen. Hukum sebagai hasil budaya manusia yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia atas kehidupan yang tentram dan tertib tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh-pengaruh bidang lain di luar hukum. Tiap kaidah hukum positif pada hakikatnya merupakan hasil penilaian manusia terhadap prilaku manusia yang mendapat keajegan sebagai suatu kebiasaan yang telah diterima dan disepakati untuk mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, hukum merupakan produk yang komprehensif sehingga dapat dipandang sebagai gejala budaya, gejala sejarah, gejala politik, disamping sebagai gejala sosial.
Menganalogikan dengan konsep hukumnya, maka sangat sulit dapat diterima secara ilmiah bilamana negara dimurnikan dan terlepas dari pengaruh disiplin ilmu lainnya. Pandangannya bahwa “tidak ada konsep sosiologis tentang negara selain konsep hukum” tidaklah benar sepenuhnya. Negara bukanlah obyek hukum semata, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu pemerintahan, bahkan biologi (melalui teori organis) sebagai ilmu eksak juga dapat menjadikan negara sebagai obyek kajiannya. Dengan kata lain, kami kurang sependapat dengan pandangannya bahwa “negara dan hukum bukan dua obyek yang berbeda”, “menolak adanya kehendak atau kepentingan kolektif dari warga negara beserta negara itu sendiri”. Dilain pihak dalam rangka menegakkan supremasi hukum, kami sependapat dengan pendapat beliau bahwa “untuk dapat mengetahui perbedaan antara perintah atas nama organ negara dengan yang bukan adalah melalui tata hukum yang membentuk negara tersebut”, “segala bentuk tindakan memerintah dan mematuhi perintah yang beraneka ragam hanya terjadi menurut tata hukum”. Oleh karena itu, pendapat Hans Kelsen untuk sebagian dapat diterima, baik dalam kaitannya dengan konsep negara hukum yang menjunjung supremasi hukum maupun berkaitan dengan konsepsi negara disamping sebagai “komunita yang diciptakan oleh suatu tata hukum nasional”, sekaligus juga sebagai organisasi kekuasaan atau organisasi kemasyarakatan.
a. Ilmu Hukum adalah suatu pemahaman normologis tentang makna hukum positif (normological apprehenson of the meaning of positive law).
b. Teori hukum (legal theory) adalah teori umum tentang hukum positif yang menggunakan metode pemahaman yuristik yang khas secara murni.
Melalui pemahaman normologis ilmu hukum hanya mempelajari norma-norma sehingga sebagai ilmu kognitif yang murni tentang hukum positif. Konteks dan problematika korelasi tentang latar belakang lahirnya hukum, baik buruknya isi hukum bukan merupakan dilema bagi Hans Kelsen. Selanjutnya melalui metode yuristik, maka hukum sebagai ketentuan normatif dipandang secara holistik dan dibebaskan dari percampuran dengan pendekatan-pendekatan di luar hukum seperti pendekatan psikologis, sosiologi, politikologis dan etis suatu penlolakan terhadap sinkretisme metodelogis. Disamping teori hukum murni yang mengemukakan bahwa “hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya”di atas, Hans Kelsen juga mengembangkan teori Stufenbau des Recht (Teori Pertingkatan Hukum). Menurut teori Pertingkatan Hukum sistem hukum itu pada hakikatnya bersifat hierarkis, dimana suatu ketentuan hukum tertentu akan bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi.
Oleh karena itu dengan titik tolak polarisasi pemikiran di atas berikut tulisan ini akan lebih intens, detail dan terperinci mengkaji lebih dalam tentang pemikiran Hans Kelsen tentang hukum dan negara serta implementasinya terhadap perlindungan hak asasi manusia dikaji dari perspektif teori hukum.
Polarisasi Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum Dan Negara Dalam General Theory Of Law And State Serta Implementasinya Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia Dikaji Dari Perspektif Teori Hukum
1. Pemikiran Hans Kelsen tentang Hukum dan Negara
Pada bagian ini tentang Hukum dan Negara maka dalam buku General Theory of Law and State khususnya terhadap konteks Hak Asasi Manusia maka dikemukakan polarisasi pemikiran Hans Kelsen tentang Hukum dan Negara adalah sebagai berikut:
Pemikiran bahwa pada hakikatnya negara sebagai personifikasi dari Tata Hukum Nasional, sehingga tertib hukum tidak ada bedanya dengan tertib negara.
Pandangan yang menempatkan Negara sebagai personifikasi dari Tata Hukum Nasional menunjukkan negara diidentikan dengan hukum. Hal ini merupakan pandangan yang ekstrim bilamana dikaitkan dengan teorinya tentang hukum, yakni teori hukum murni. Sebagaimana telah dibahas, menurut teori hukum murni bahwa “hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya”. Pandangan ini menunjukkan hukum itu bebas nilai (in free value) serta dilepaskan dari faktor-faktor realitas yang berpengaruh dalam pembentukannya. Berbagai ahli non hukum mengkritik pendapatnya. Hans Kelsen dipandang telah meremehkan peranan dan manfaat dari bidang di luar hukum terhadap pembangunan dan pengembangan hukum tersebut. Kami sependapat dengan kritikan yang diajukan kepada Hans Kelsen. Hukum sebagai hasil budaya manusia yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia atas kehidupan yang tentram dan tertib tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh-pengaruh bidang lain di luar hukum. Tiap kaidah hukum positif pada hakikatnya merupakan hasil penilaian manusia terhadap prilaku manusia yang mendapat keajegan sebagai suatu kebiasaan yang telah diterima dan disepakati untuk mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, hukum merupakan produk yang komprehensif sehingga dapat dipandang sebagai gejala budaya, gejala sejarah, gejala politik, disamping sebagai gejala sosial.
Menganalogikan dengan konsep hukumnya, maka sangat sulit dapat diterima secara ilmiah bilamana negara dimurnikan dan terlepas dari pengaruh disiplin ilmu lainnya. Pandangannya bahwa “tidak ada konsep sosiologis tentang negara selain konsep hukum” tidaklah benar sepenuhnya. Negara bukanlah obyek hukum semata, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu pemerintahan, bahkan biologi (melalui teori organis) sebagai ilmu eksak juga dapat menjadikan negara sebagai obyek kajiannya. Dengan kata lain, kami kurang sependapat dengan pandangannya bahwa “negara dan hukum bukan dua obyek yang berbeda”, “menolak adanya kehendak atau kepentingan kolektif dari warga negara beserta negara itu sendiri”. Dilain pihak dalam rangka menegakkan supremasi hukum, kami sependapat dengan pendapat beliau bahwa “untuk dapat mengetahui perbedaan antara perintah atas nama organ negara dengan yang bukan adalah melalui tata hukum yang membentuk negara tersebut”, “segala bentuk tindakan memerintah dan mematuhi perintah yang beraneka ragam hanya terjadi menurut tata hukum”. Oleh karena itu, pendapat Hans Kelsen untuk sebagian dapat diterima, baik dalam kaitannya dengan konsep negara hukum yang menjunjung supremasi hukum maupun berkaitan dengan konsepsi negara disamping sebagai “komunita yang diciptakan oleh suatu tata hukum nasional”, sekaligus juga sebagai organisasi kekuasaan atau organisasi kemasyarakatan.
Organ negara adalah individu yang
menjalankan suatu fungsi tertentu yang ditetapkan oleh tata hukum.
Organ negara dibedakan dalam artian luas (bersifat formal) dan artian sempit (bersifat material). Mendasarkan kepada pendekatan fungsi, adapun organ-organ negara yang melaksanakan fungsi membuat norma, fungsi menerapkan norma, fungsi menerapkan sanksi hukum serta fungsi memilih parlemen dikatagorikan sebagai organ negara dalam artian luas. Sedangkan organ negara yang melaksanakan ketiga fungsi selain fungsi memilih parlemen diklasifikasikan sebagai organ negara dalam artian sempit. Secara sederhana, organ negara tersebut terdiri dari organ pemerintah dan non pemerintah (warga negara). Adapun fungsi memilih parlemen merupakan jenis fungsi yang dilakukan di luar pemerintah. Pandangan ini tampak tidak mendikotomikan antara pemerintah dengan warga negara. Hal ini berarti keduanya memiliki kekuasaan sesuai dengan fungsinya yang ditetapkan oleh tata hukum.
Dalam arti sempit, pengertian organ negara yang dikemukakan Hans Kelsen tampak dipengaruhi oleh ajaran Trias Politika yang membedakan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pembidangan ini secara doktriner dikenal dengan organ negara dalam arti luas, sehingga pendapat Hans Kelsen lebih luas dari pendapat para sarjana seperti Montesquieu ataupun John Locke sebagai penganut ajaran Trias Politika. Dalam realitanya kami kurang sependapat dengan pandangan Hans Kelsen, oleh karena pengertian organ negara erat kaitannya dengan wewenang dan warga negara tentunya tidak mempunyai wewenang untuk memerintah kecuali mereka telah menjadi pegawai negeri pada salah satu organ negara dalam pengertian yang sempit.
Negara sebagai personifikasi tata hukum tidak memiliki kewajiban dan hak.
Organ negara dibedakan dalam artian luas (bersifat formal) dan artian sempit (bersifat material). Mendasarkan kepada pendekatan fungsi, adapun organ-organ negara yang melaksanakan fungsi membuat norma, fungsi menerapkan norma, fungsi menerapkan sanksi hukum serta fungsi memilih parlemen dikatagorikan sebagai organ negara dalam artian luas. Sedangkan organ negara yang melaksanakan ketiga fungsi selain fungsi memilih parlemen diklasifikasikan sebagai organ negara dalam artian sempit. Secara sederhana, organ negara tersebut terdiri dari organ pemerintah dan non pemerintah (warga negara). Adapun fungsi memilih parlemen merupakan jenis fungsi yang dilakukan di luar pemerintah. Pandangan ini tampak tidak mendikotomikan antara pemerintah dengan warga negara. Hal ini berarti keduanya memiliki kekuasaan sesuai dengan fungsinya yang ditetapkan oleh tata hukum.
Dalam arti sempit, pengertian organ negara yang dikemukakan Hans Kelsen tampak dipengaruhi oleh ajaran Trias Politika yang membedakan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pembidangan ini secara doktriner dikenal dengan organ negara dalam arti luas, sehingga pendapat Hans Kelsen lebih luas dari pendapat para sarjana seperti Montesquieu ataupun John Locke sebagai penganut ajaran Trias Politika. Dalam realitanya kami kurang sependapat dengan pandangan Hans Kelsen, oleh karena pengertian organ negara erat kaitannya dengan wewenang dan warga negara tentunya tidak mempunyai wewenang untuk memerintah kecuali mereka telah menjadi pegawai negeri pada salah satu organ negara dalam pengertian yang sempit.
Negara sebagai personifikasi tata hukum tidak memiliki kewajiban dan hak.
Hans Kelsen yang tidak menerima adanya pembedaan antara hukum dan negara, dalam konteks nasional menolak pembebanan kewajiban dan pemberian hak kepada negara. Beliau mengemukakan “sebenarnya tidak ada kewajiban dan hak negara. Kewajiban dan hak selalu merupakan kewajiban dan hak para individu”. Namun demikian, beliau tidak menyangkal keterikatan dari pemerintah atau orang-orang yang mewakili negara terhadap norma-norma hukum dalam hal berhubungan dengan warga negara. Dengan kata lain, penyangkalan Hans Kelsen terhadap keterikatan negara dengan hukum tidak bersifat absolut, karena organ-organ negara (dalam arti sempit/materiil) tetap terikat perbuatannya dengan norma-norma hukum. Disamping itu, dalam kaitan dengan pergaulan masyarakat dunia dikemukakan bahwa negara dapat juga dibebankan kewajiban yang tercermin dari sanksi yang harus dipertanggungjawabkannya.
Adanya pengakuan kedaulatan negara dalam wilayah nasional suatu negara sejalan dengan teori kedaulatan negara yang menempatkan negara secara utuh dan berdaulat dalam wilayahnya. Pengakuan ini menurut pendapat kami sangat penting untuk mempertahankan keutuhan suatu negara dari rongrongan warga negara atau rakyatnya sendiri. Namun demikian pengukuhan keutuhan negara ini bukan berarti melepaskan tanggung jawab aparat pelaksana atau organ negara yang diduga dan/atau terbukti melakukan perbuatan yang melawan hukum sehingga merugikan rakyatnya. Supremasi hukum harus tetap ditegakkan, dan siapapun bersalah dan mempunyai kemampuan bertanggung jawab wajib tunduk pada hukum. Mengenai pertanggungan jawab dari aparat/organ negara tidaklah bersifat serta merta, artinya terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan bukanlah menjadi kewajiban organ negara bersangkutan. Tindakan aparat pemerintah yang menurut hukum meskipun telah menimbulkan kerugian atau pelanggaran terhadap hak-hak rakyat bukan menjadi kewajiban aparat bersangkutan yang mempertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban akan muncul bilamana tindakan pemerintah yang diduga atau telah menimbulkan kerugian dan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat dilakukannya dengan melanggar hukum atau tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan terkait dengan pelaksanaan tugas negara bersangkutan.
Adanya kewajiban pertanggungjawaban pemerintah atau organ negara ini secara contrario merupakan wujud perlindungan hukum dari negara melalui aparatnya terhadap warga negara atau rakyatnya. Dengan kata lain, pendapat Hans Kelsen secara tersirat pada hakikatnya mengakui keberadaan dari konsep negara hukum, yang menurut Sri Soemantri Martosoewignjo memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
b. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
c. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
d. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (recthsterlijke controle).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar